puasa 6 hari dibulan syawal
Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ …
“
Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di
dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari
perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai
dari api neraka. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“
Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka
lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa
sunnah yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.
Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“
Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)
Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam
hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab
Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka.
Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat
mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini.
(Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)
Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh
Dari Tsauban, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)
“
Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka
dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan,
maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan
yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal
dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan
semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu,
seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan
syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An
Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.
Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan ?
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling
afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara
berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun
jika tidak
berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap
mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa
Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga
hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun
tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang
berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena
bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.
Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan)
seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak
berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini
meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal
ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)
Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan
untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja
perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang
sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa
Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka
tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan
pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada
tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa
sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita
kembali ke perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka
boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama
masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa
sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa
menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa
sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul
Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan
ini.
Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah
mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang
sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2
siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan
shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena
waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak
berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini
disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti
berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!
Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah
Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian
memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak”
Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang
boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)
Berikut Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan Seputar Puasa 6 Hari dibulan Syawal
Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ?
Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut
"
Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun."
Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari
padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak
berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin
Shalih al Utsaimin)
Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa
menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu
tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan
belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya
bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan.
Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari
itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan
bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha
kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal
diharuskan terus menerus atau tidak ?
Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya :
Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul
dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa
sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara
berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat
mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah
lebih utama berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya) : "
..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84]
Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang
menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan
kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus
menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "
Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit"
Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan
Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu
terlewat dengan atau tanpa udzur.
Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari
Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam
hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia
mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?
Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
bahwa beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang berpuasa di
bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal
maka seakan-akan ia berpuasa setahun"
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa
Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam
hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan
pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) :
"Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan
Syawal sama dengan dua bulan"
Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka
berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa
Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh,
atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu
dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa
enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan
qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam
hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud.
Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus
sebagai puasa sunnat Syawal.
Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang
istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari
Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?
Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat
suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin
suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan
seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi
suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin
mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis
kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang
istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau
menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu
berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat
lainnya.
Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?
Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak
musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya) : "Tidak halal bagi seorang wanita unruk
berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam
riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan"
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau
suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak
bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama
pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari
Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di
bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari
'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.
Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan
puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan
bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa
sallam.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
penambahan tanya jawab oleh http://www.darussalaf.or.id